Senin, 01 November 2010

PUISI

Sajak Om Asrul
Karya : Teuku Asrul

Nanda, selamat datang di rumah ini
Rumah yang harmoni serta ditaburi cinta kasih
Tak ada keji, tak hinggap benci
Yang bersemi hanya cinta dan kasih

Kedatanganmu memberi warna baru bagi segenap keluarga ini
Menambah kisah-kisah yang akan tersimpan dalam sajak-sajak senja kami nanti
Kau pun yang akan menyambung titah keluarga ini
Tentu setelah kami memberimu nyanyian-nyanyian rabbi

Kau akan menjadi seorang berbudi
Pemberi solusi dan siap berdedikasi tuk kami
Keluarga, bahkan tuk negeri ini

Nanda, suburlah dirimu
Menjadi seorang anak yang patuh dan takzim terhadap orang tuamu

Salam bahagia dan doa yang bisa om ucapkan untukmu
Tak ada bingkisan, tak ada jasat ommu
Om nan jauh disana
Tak tau waktu
Tak tau apa-apa
Hanya tiba-tiba saja
Tapi jangan kau hiraukan semua itu

Nanda, setelah hari ini kau di fitrah dengan sebuah nama
Jadilah dirimu anak yang salih
Bagi ibu tentu tak lupa papamu
Selamat datang satria kecilku
Di kerajaan kecil dan sederhana ini

Doa selalu menyertaimu
Bersama sajak-sajak yang berirama

                                                       
                                                       Banda aceh, 05 November 2010


Minggu, 31 Oktober 2010

CERPEN


Titah Raja Kerdil
oleh
Wirduna Tripa
Di ujung negeri kepulauan hijau ini, tersimpan setitik embun di bawah rereduhan pohon jelata yang sulit diketahui laqab-nya. Embun bening yang setiap pagi disapa mentari selalu memberikan kesejukan bagi mereka yang mendengarkan kabar. Kabar yang menggumam keseluruh negeri kepulauan, negeri jiran bahkan sampai ke negeri paman sam.
Peradaban tentang negeriku terhitung peka. Lembaran-lembaran sejarah masih memberi tanda tentang perjuangan mereka. Tentunya dalam mengukir peta perdaban dunia bersama rakyat jelata. Kebersamaan mereka utamakan dalam mengambil keputusan sehingga menghasilkan qanun-qanun yang relevan dan memberi ketenangan di berbagai sendi kehidupan. Barisan peta hijau gemilang. Siang malam rakyat jelata dapat memenjamkan mata dengan tenang.
Meski dulu meugomeulaot dan berdagang sebagai profesi kehidupan, tak pernah dikesalkan. Keringat yang mengalir dari tubuh-tubuh kerdil, kecil dan hitam mendapat imbalan setimpal. “ulul’amriminkum” tak pernah pudar dari sisi kehidupan, tak punah diterjang peradan, tak kusam ditelan upah liar. Nurani jelata tak tersimpan legenda kusam, selalu memancar sejuknya embut yang hinggap di barisan ilalang, meski telah petang embun itu masih memancar bening kesejukan.
Kau bisa melihat? Semua itu sekarang hanya tersimpan dalam catatan lesuh di rak-rak jamuan bacaan. Bila kau ingin menemukan silakan berkunjung jamuan lafal, meski katalognya sembarang, tak beraturan. “Sempit catatan” mukin itu jawaban bila ada yang menanyakan. Ah… semua memang tak menentu.
Pucuk,dahan, batang, cabang bahkan sampai ke akar-akar layu dan hanya menyisakan rerantingan. Terbesit di hati untuk menebang, mehilangkan dari cacatan zaman hingga ia tak diketahui keadaan. Tinggi memang keinginan. Akan tetapi itu semua terlupakan, hilang diterpa ketakberdayaan. Ada yang mencoba menyiram batang-batang yang telah kusam, tak lama kemudian mereka pun terhapus dari catatan zaman. Hingga yang lain ciut dengan keadaan. Artikulasi terbungkam. Ada yang lantang tertahan dengan timpan. Hingga suaranya tertelan. Itulah benih-benih pecundang yang miring dengan keadaan. Benang yang telah terlintang berlahan rapuh dan kusam diterjang terik panas dan air tawan yang mengalir dari langit jingga.
Mereka telah lahir. Lihat! Titah-tinah kerajaan peninggalan sultan berteduh di bawah pohon yang hanya tinggal rerantingan. Terang-gelap bumi selalu dibasi air yang terjun tanpa henti dari bawah penerang bumi. Sungai dan parit-parit yang lurus berdiri semua tergenangi. Tetapi pohon kerdil ini tak pernah menyerab pemberian sang pengatur alam ini.
Dedaunan kian jatuh menepi. Peristiwa aneh pun kerap mengahantui. Batang dan cabang pohon kerap bermimpi, hingga dedauan layu dan turun ke bumi. “Batang ini masih sangat muda, tentu bukan usia, hanya bisa dijadikan tangga. Sungguh tak tepat bila ia penopang istana” usia pohon memang terhitung lama, tak cukup jemari tuk menghitungnya. Bahkan ditambah denga kedua kaki masih belum memadai. Mukin karena pohon itu berada di tepi kali yang dikelilingi tanah liat mati.
Penulis, Ketua Umum Gemasastrin FKIP Unsyiah